LAPORAN KELOMPOK
9
“ KEWARGANEGARAAN “
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT,BERBANGSA DAN BERNEGARA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
BANJARMASIN
S1 KEPERAWATAN
2013
Di susun Oleh :
Kelompok 1 B
1. Mustika Murina
2. Melia Mayamsari
3. Erliana Eka Safitri
4. M.Hajriadi
5. Superapto
6. Laili Masruri
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah kami mata kuliah KEWARGANEGARAAN dengan materi “
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,BERBANGSA,DAN
BERNEGARA” tepat pada waktunya.
Semoga makalah kami ini bisa bermanfa’at bagi pihak
yang membacanya. Kami sadar bahwa dalam makalah kami ini banyak kekurangannya.
Untuk itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan kami terima dengan
senang hati. Sekian, kami ucapkan terima kasih.
Banjarmasin,
5 Desember 2013
Penyusun
DAFTAR ISI Hal
Kata Pengantar
.............................................................................................. ...... i
Daftar Isi
.............................................................................................................. ii
BAB I.PENDALUAN ..........................................................................................
1
a. Latar
Belakang.......................................................................................
1
b. Rumusan Masalah .................................................................................
2
c.
tujuan penulisan......................................................................................
2
BAB II.PEMBAHASAN.......................................................................................
3
A.
Pengertian paradigma dalam arti
luas................................................... 3
B.
Pancasila sebagai paradigma
pembangunan......................................... 4
C.
Pancasila sebagai paradigma pembanguna
politik................................ 5
D.
Pancasila sebagai pembangunan
Ekonomi........................................... 6
E.
Pancasila Sebagai pembangun Sosial
Budaya......................................
7
F.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembanguna
Hukum............................. 9
BAB III.PENUTUP.................................................................................................
13
Kesimpulan...................................................................................................
14
Daftar
Pustaka...............................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
i.
Latar Belakang Masalah
Pancasila
adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No.7 bersama-sama batang
tubuh UUD 1945. Sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik. Karena hal
tersebut Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan
hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan
dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu. Pancasila sebagai paradigma
dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan
berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan
kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang
menyandangnya. Yang menyandangnya itu di antaranya:
a. bidang politik,
b. bidang ekonomi,
c. bidang sosial budaya,
d. bidang hukum,
e. bidang kehidupan antar umat
beragama, Memahami asal mula Pancasila.
ii.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Paradigma secara luas ?
2.
Apa yang dimaksud Pancasila sebagai paradigma
pembangunan ?
3.
Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Politik ?
4.
Bagaimanakah peran Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi ?
5.
Bagaimanakah peran Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial Budaya ?
6.
Bagaimanakah Paradigma Kehidupan Bangsa
Indonesia ?
iii.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengrtian Paradigma secara luas.
2.
Untuk mengetahui Pancasila sebagai paradigma
pembangunan.
3.
Untuk mengetahui Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik.
4.
Untuk mengetahui Pancasila Sebagai Pembangunan Ekonomi.
5.
Untuk mengetahui Pancasila Sebagai Pembangunan Sosial Budaya.
6.
Untuk mengetahui Paradigma Kehidupan Bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PARADIGMA DALAM ARTI
LUAS
Paradigma secara sederhana
dapat diartikan sebagai kerangka pikir untuk melihat suatu permasalahan.
Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang
dikembangkan oleh Thomas Kuhn
dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif
intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan
yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin tertentu.
Robert Winslow menambahkan pengertian
paradigma ilmiah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan
suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk
ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka
teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
George Ritzer memberikan pengertian
paradigma sebagai gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan.
Paradigma memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang
harus diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti
dalam memahami jawaban yang diperoleh.
Menurut Kuhn, tidak ada
sejarah kehidupan yang dapat diinterpretasikan tanpa sekurang-kurangnya
beberapa bentuk teori dan keyakinan metodologik implicit yang berkaitan satu
sama lain yang memungkinkan untuk melakukan seleksi, evaluasi dan bersikap
kritis. Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari
dunia sejarah dan sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu
alam yang pada waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah. Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap
sebagai ilmu, dulunya hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah,
sastra, dan politik.
B. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
Untuk mencapai tujuan hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara Indonesia melaksanakan pembangunan
nasional. Hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat dan
martabatnya. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek
pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai pada
sila-sila Pancasila.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah
dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan
hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan
tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat
manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat
manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a.
susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b.
sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c.
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk
tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya
meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa,
raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional
sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di
berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan,
meliputi bidang politik,ekonomi,sosial budaya,dan pertahanan keamanan.
C. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN POLITIK
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai
subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari
kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan
martabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila).
Pengembangan selanjutnya adalah
sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada
pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan,
dan moral keadilan.
Pancasila sebagai paradigma
pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik
bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan
nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat
secara berurutan-terbalik:
1. Penerapan dan pelaksanaan
keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,agama, dan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari
2.
Mementingkan kepentingan rakyat
(demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan.
Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan. Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini,
implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga
(civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik,
agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru
masyarakat informasi adalah:
1. Nilai toleransi
2. Nilai transparansi hukum dan kelembagaan.
3. Nilai kejujuran dan komitmen
(tindakan sesuai dengan kata).
4. Bermoral berdasarkan konsensus
(Fukuyama dalam Astrid: 2000:3)
Dapat disimpulkan bahwa
pengembangan politik negara terutama dalam proses reformasi dewasa ini harus
mendasarkan pada moralitas sebagaimana tertuang dalam sila-sila Pancasila
sehingga, praktik-praktik yang menghalalkan segala cara dengan memfitnah,
memprovokasi menghasut rakyat yang tidak berdosa untuk diadu domba harus segera
diakhiri.
D.
PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUNAN
EKONOMI
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka
sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila.
Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan
(sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang
mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari
bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan
menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga
negara. Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan
daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan,
dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang
demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat
melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
E.
PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUN
SOSIAL BUDAYA
Dalam pembangunan pengembangan
aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia
sebagai makhlukyang berbudaya. Pancasila juga merupakan sumber normatif bagi
peningkatan humanisasi dalam bidang sosial budaya.
Pancasila pada hakikatnya
bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan
kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya
dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia
biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita
menjadi manusia adil dan beradab..
Paradigma-baru dalam
pembangunan nasional berupa paradigma Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia
sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan
demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan,
diskriminasipembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya
komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya
komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak
asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi
daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan
nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan
(Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan
sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi
kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi
kebudayaan - kebudayaan di daerah:
1.
Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun
golongan sosial dan komunitisetempat di Indonesia yang tidak
mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2.
Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh
segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan,
kedaerahan, maupun golongannya;
3.
Sila Ketiga, mencerminkan
nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan
nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
4.
Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di
kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui
musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang
mendahulukan kepentingan perorangan;
5.
Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi
landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
F.
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
PEMBANGUNAN HUKUM
satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi
juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem
pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga
negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara
dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan
berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan
segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta
didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan
pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di
mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara
bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk
menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan ditetapkannya UUD
1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat
pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
1)
Adanya perlindungan terhadap HAM,
2)
Adanya susunan ketatanegaraan negara
yang mendasar, dan
3)
Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di
dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari
UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang
demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan
dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Hukum tertulis
seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila
Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan
‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh
bertentangan dengan sila-sila :
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.
Persatuan Indonesia,
4.
Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia adalah Negara yang
majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis,
bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai
dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang
bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti
semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. , sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan – akan mefresenasikan umat muslim.Masyarakat
muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir,
Paradigma toleransi antar umat
beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah
pada intinya adalah seperti berikut:
1.
Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas
(ummatan wahidah).
2.
Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara
komunitas
3.
Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
a.
Bertentangga yang baik
b.
Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c.
Membela mereka yang
teraniaya
d.
Saling menasehati
e.
Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1.
Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa
diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2.
pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam
menyelesaikan masalah bersama
serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi
Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa
hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa
yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada
postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab
bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi
(ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan
semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan
kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak
kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar
masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di
Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan
“Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat
beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar
umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun
dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar
manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan
eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis
dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang
menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi
manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal
budi, yang kreatif, yang berbudaya.
BAB III
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai
paradigma mempunyai kaitan yang erat dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Karena Pancasila mempunyai peran yang sangat penting dalam berbagai
bidang seperti dalam bidang hukum, ekonomi, sosial budaya, dan juga pembangunan
Pancasila sebagai paradigma
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini dimaksudkan untuk dipergunakan
sebagai acuan setiap warganegara utamanya para penyelenggara negara dan
pemerintahan dalam menentukan kebijakan, melaksanakan kegiatan dan mengadakan
evaluasi hasilnya serta dalam menghadapi berbagai dinamika perubahan. Paradigma
Kehidupan Bangsa Indonesia ini akan dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk yang
lebih rinci sehingga akan memudahkan bagi imple- mentasinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar